Dalil-Dalil Yang Mendasari Kafa’ah Syarifah dan Sayyed
|
27 Nov 2012
kembali jumpa lagi , kali ini aku mau copy saja ya :)sekalian berbagi pengetahuan hehe .. please read :D
Pada
dasarnya ayat-ayat Alquran yang menyebutkan keutamaan dan kemuliaan ahlul bait
secara umum merupakan dalil yang mendasari pelaksanaan kafa’ah dalam perkawinan
syarifah. Begitu pula dengan ayat yang terdapat dalam alquran surat al-An’am ayat 87,
berbunyi :
ومن أبآئهم وذرّيّتهم وإخوانهم …
(dan
kami lebihkan pula derajat) sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan
mereka dan saudara-saudara mereka …’
Ayat
di atas jelas memberitahukan bahwa antara keturunan para nabi, (khususnya
keturunan nabi Muhammad saw), dengan keturunan lainnya terdapat perbedaan
derajat keutamaan dan kemuliaan, hal ini didasari oleh sabda
Rasulullah saw yang ditulis dalam kitab Yanabbi’ al-Mawwadah :
نحن اهل البيت لا يقاس بنا
‘Kami
Ahlul Bait tidaklah bisa dibandingkan dengan siapapun‘.
Imam
Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahj al-Balaghoh berkata,
‘Tiada seorang pun dari umat ini dapat dibandingkan dengan
keluarga Muhammad saw’. Imam Ali mengatakan bahwa tiada orang di
dunia ini yang setaraf (sekufu’) dengan mereka, tiada pula orang yang dapat
dianggap sama dengan mereka dalam hal kemuliaan.
Turmudzi
meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Abbas bin Abdul Mutthalib, ketika
Rasulullah ditanya tentang kemuliaan silsilah mereka, beliau menjawab :
ان الله خلق الخلق فجعلني في خيرهم من
خيرهم قرنا ثم تخير القبائل فجعلني من خير قبيلة ثم تخير البيوت فجعلني من
خيربيوتهم فأنا خيرهم نفسا و خيرهم بيتا
‘Allah
menciptakan manusia dan telah menciptakan diriku yang berasal dari jenis
kelompok manusia terbaik pada waktu yang terbaik. Kemudian Allah menciptakan
kabilah-kabilah terbaik, dan menjadikan diriku dari kabilah yang terbaik. Lalu
Allah menciptakan keluarga-keluarga terbaik dan menjadikan diriku dari keluarga
yang paling baik. Akulah orang yang terbaik di kalangan mereka, baik dari segi
pribadi maupun dari segi silsilah‘.
Baihaqi,
Abu Nu’aim dan Tabrani meriwayatkan dari Aisyah, Disebutkan bahwa Jibril as
pernah berkata :
قال لى جبريل : قلبت مشارق الارض ومغاربها
فلم أجد رجلا افضل من محمد وقلبت مشارق الارض ومغاربها فلم أجد بنى أب أفضل من بني
هلشم
‘Jibril
berkata kepadaku : Aku membolak balikkan bumi, antara Timur dan Barat, tetapi
aku tidak menemukan seseorang yang lebih utama daripada Muhammad saw dan akupun
tidak melihat keturunan yang lebih utama daripada keturunan Bani Hasyim’.
Dalam
Alquran disebutkan bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah
yang paling bertaqwa. Sebagai contoh para sahabat nabi, mereka adalah
orang-orang yang mulia walaupun mereka bukan dari kalangan ahlul bait. Memang
benar, bahwa mereka semuanya sama-sama bertaqwa, taat dan setia kepada Allah
dan Rasul-Nya. Persamaan keutamaan itu disebabkan oleh amal kebajikannya
masing-masing. Akan tetapi ada keutamaan yang tidak mungkin dimiliki oleh para
sahabat nabi yang bukan ahlul bait.
Sebab
para anggota ahlul bait secara kodrati dan menurut fitrahnya telah mempunyai
keutamaan karena hubungan darah dan keturunan dengan manusia pilihan Allah
yaitu nabi Muhammad saw. Hubungan biologis itu merupakan kenyataan yang
tidak dapat disangkal dan tidak mungkin dapat diimbangi oleh orang lain.
Lebih-lebih
lagi setelah turunnya firman Allah swt dalam surah Al-Ahzab ayat 33 yang
berbunyi :
إنّما يريد الله ليذهب عنكم الرّجس اهل
البيت ويطهّركم تطهيرا
‘Sesungguhnya
Allah swt bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlu al-bait
dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya‘.
Di
samping itu Rasulullah saw telah menegaskan dalam sabdanya :
ياأيهاالناس إن الفضل والشرف
والمنزلة والولاية لرسول الله وذريته فلا تذ هبن الأباطيل
‘Hai
manusia bahwasanya keutamaan, kemuliaan, kedudukan dan kepemimpinan ada pada
Rasulullah
Rasulullah dan keturunannya. Janganlah kalian diseret oleh kebatilan’.
Walaupun
para ahlil bait Rasulullah menurut dzatnya telah mempunyai keutamaan, namun
Rasulullah tetap memberi dorongan kepada mereka supaya memperbesar ketaqwaan
kepada Allah swt, jangan sampai mereka mengandalkan begitu saja hubungannya
dengan beliau. Karena hubungan suci dan mulia itu saja tanpa disertai amal
saleh tidak akan membawa mereka kepada martabat yang setinggi-tingginya di sisi
Allah.
Dengan
keutamaan dzatiyah dan keutamaan amaliyah, para ahlul bait dan keturunan rasul
memiliki keutamaan ganda, keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Keutamaan ganda itulah (khususnya keutamaan dzatiyah) yang mendasari
pelaksanaan kafa’ah di kalangan keturunan Rasullulah.
Sebelum
kita membahas lebih lanjut mengenai kafa’ah syarifah, marilah kita perhatikan
hadits yang menceritakan tentang adanya kafa’ah di kalangan wanita Arab. Telah
diceritakan dalam kitab Syarah al-Wasith bahwa Umar bin
Khattab akan menikahkan anak perempuannya kepada Salman al-Farisi, kemudian
berita tersebut sampai kepada Amr bin Ash, dan beliau berkata kepada Salman :
Saya lebih setara (sekufu’) dari pada engkau. Maka Salman berkata :
Bergembiralah engkau. Dan selanjutnya dengan sikap tawadhu’ Salman berkata :
Demi Allah, saya tidak akan menikah dengan dia selamanya.
Ketika
Salman al-Farisi hendak sholat bersama Jarir, salah satu sahabatnya yang
berasal dari bangsa Arab, Salman dipersilahkan menjadi imam sholat, kemudian
Salman al-Farisi berkata : ‘Tidak ! engkaulah yang harus menjadi imam. Wahai
bangsa Arab, sesungguhnya kami tidak boleh mengimami kamu dalam sholat dan
tidak boleh menikahi wanita-wanita kamu. Sesungguhnya Allah swt telah
memelihara kamu atas kami disebabkan kemuliaan Muhammad saw yang telah
diciptakan dari kalangan kamu’. Dalam riwayat lain dari Salman al-Farisi :
نهانا رسول الله أن نتقدم أمامكم أو
ننكح نساءكم
‘Sesungguhnya
Rasulullah telah melarang kami untuk memimpin (mengimami) kamu atau menikahi
wanita-wanita kamu.”
Dari
hadits tersebut jelaslah bahwa di kalangan wanita Arab telah ada kafa’ah nasab
dalam perkawinan. Hal tersebut dibuktikan oleh penolakan Salman al-Farisi yang
berasal dari Persi (Ajam) ketika hendak dinikahkan dengan wanita Arab. Jika
dalam pernikahan wanita Arab dengan lelaki non Arab saja telah ada kafa’ah,
apalagi halnya dengan kafa’ah dalam pernikahan antara syarifah dimana mereka
adalah wanita Arab yang mempunyai kemuliaan dan keutamaan. Kemuliaan dan
keutamaan yang didapatkan tersebut dikarenakan mereka adalah keturunan
Rasulullah saw.
Sedangkan
hadits Rasulullah yang memberikan dasar pelaksanaan kafa’ah syarifah adalah
hadits tentang peristiwa pernikahan Siti Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib,
sebagaimana kita telah ketahui bahwa mereka berdua adalah manusia suci yang
telah dinikahkan Rasulullah saw berdasarkan wahyu Allah swt . Dalam kitab Makarim
al-Akhlaq terdapat hadits yang berbunyi :
إنما انا بشر مثلكم أتزوّج فيكم وأزوّجكم
إلا فاطمة فإن تزويجها نزل من السّماء , ونظر رسول الله إلى أولاد علي وجعفر فقال
بناتنا لبنينا وبنونا لبناتنا
‘Sesungguhnya
aku hanya seorang manusia biasa yang kawin dengan kalian dan mengawinkan
anak-anakku kepada kalian, kecuali perkawinan anakku Fathimah. Sesungguhnya
perkawinan Fathimah adalah perintah yang diturunkan dari langit (telah
ditentukan oleh Allah swt). Kemudian Rasulullah memandang kepada anak-anak Ali
dan anak-anak Ja’far, dan beliau berkata : Anak-anak perempuan kami hanya
menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah
dengan anak-anak perempuan kami’.
Menurut
hadits di atas dapat kita ketahui bahwa : Anak-anak perempuan kami (syarifah)
menikah dengan anak-anak laki kami (sayid/syarif), begitu pula sebaliknya
anak-anak laki kami (sayid/syarif) menikah dengan anak-anak perempuan kami
(syarifah).
Berdasarkan
hadits ini jelaslah bahwa pelaksanaan kafa’ah yang dilakukan oleh para keluarga
Alawiyin didasari oleh perbuatan rasul, yang dicontohkannya dalam menikahkan
anak puterinya Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Hal itu pula yang
mendasari para keluarga Alawiyin menjaga anak puterinya untuk tetap menikah
dengan laki-laki yang sekufu sampai saat ini.
Di
zaman Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf, oleh para keluarga Alawiyin
beliau diangkat menjadi ‘Naqib al-Alawiyin’ yang salah satu tugas khususnya
adalah menjaga agar keluarga Alawiyin menikahkan putrinya dengan lelaki yang
sekufu’. Mustahil jika ulama Alawiyin seperti Muhammad bin Ali al-Faqih
al-Muqaddam, Syekh Abdurahman al-Saqqaf, Syekh Umar Muhdhar, Syekh Abu Bakar
Sakran, Syekh Abdullah Al-idrus, Syekh Ali bin Abi Bakar Sakran dan lainnya,
melaksanakan pernikahan yang sekufu’ antara syarifah dengan sayid hanya
berdasarkan dan mengutamakan adat semata-mata dengan meninggalkan ajaran
datuknya Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah bagi umat, padahal mereka
bukan saja mengetahui hal-hal yang zhohir tapi juga mengetahui hal-hal bathin
yang didapat karena kedekatan mereka dengan Allah swt.
Berpegang
pada mereka dan berjalan di atas jalan mereka adalah jaminan keselamatan dan
tidak adanya perpecahan serta perselisihan, sebagaimana hadits Rasulullah saw
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas :
النجوم أمان لأهل السماء وأهل بيتي أمان
لأهل العرض
‘Bintang-bintang
adalah sebagai pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam (di lautan) dan ahlil
baitku sebagai pengaman bagi penduduk bumi (dari perselisihan)‘.
Tidaklah
alquran memperkenalkan mereka kepada umat, melainkan agar umat itu memahami
kedudukan mereka (dalam Islam) serta agar umat mengikuti dan menjadikan mereka
rujukan dalam memahami syariah, mengambil hukum-hukumnya dari mereka. Habib
Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam syairnya menulis :
Ahlul Bait Musthofa, mereka adalah orang-orang suci
Mereka pemberi keamanan di muka bumi
Mereka ibarat bintang-bintang yang bercahaya
Demikianlah sunnatullah yang telah ditentukan
Mereka ibarat bahtera penyelamat
dari segala topan (bahaya) yang menyusahkan
Maka menyelamatkan dirilah kepadanya
Dan berpegang teguhlah kepada Allah swt
serta memohon pertolongan-Nya
Wahai Tuhanku, jadikanlah kami orang yang berguna atas berkah
mereka
Tunjukkanlah kepada kami kebaikan dengan kehormatan mereka
Cabutlah nyawa kami di atas jalan mereka
Dan selamatkanlah kami dari berbagai macam fitnah.
Kepada
siapapun yang mempunyai pikiran bahwa ulama Alawiyin yang melaksanakan
pernikahan antara syarifah dengan sayid berdasarkan adat semata-mata,
dianjurkan untuk beristighfar dan mengkaji kembali mengapa para ulama Alawiyin
mewajibkan pernikahan tersebut, hal itu bertujuan agar kemuliaan dan keutamaan
mereka sebagai keturunan Rasulullah saw yang telah ditetapkan dalam alquran dan
hadits Nabi saw, tetap berada pada diri mereka.
Sebaliknya,
jika telah terjadi pernikahan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayid,
maka anak keturunan selanjutnya adalah bukan sayid, hal itu disebabkan karena
anak mengikuti garis ayahnya, akibatnya keutamaan serta kemuliaan yang khusus
dikarunia oleh Allah swt untuk ahlul bait dan keturunannya tidak dapat
disandang oleh anak cucu keturunan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki
yang bukan sayid.